“Wah, rupanya
slogan ini berlaku juga ya pak, ‘Rumput tetangga memang lebih hijau’, ujar
seseorang menggelegar di sebelah pagar tanaman. Tawanya pecah kemudian dan
ucapan sebelumnya menyimpan sindiran halus.
Pak Sudir
sekilas menatap wajah si pemilik sumber suara lalu memalingkan wajah tak
menggubrisnya. Dasar, bisanya cuma mengolok-olok saja, ocehnya sendirian. Ia
sedang menanam benih tomat di kebun di belakang rumahnya. Pekerjaan sambilannya
selain meneliti. Jika dilihat dalam posisi seperti ini, beliau sedang bercocok
tanam layaknya petani, sungguh langsung terbayang bahwa beliau gigih dan ulet
tanpa kenal lelah. Namun tunggu dulu, tempat ini sebenarnya kebun atau hutan?
Ya,
tampaknya memang lebih layak disebut hutan. Pak Sudir sendiri yang mengelolanya
dari yang awalnya halaman tandus menjadi hutan subur di belakang rumahnya.
Maklum, beliau adalah ilmuwan biologi yang mungkin sangat waras dalam mendalami
bidangnya. Tempat itu sudah menjadi laboratorium kedua setelah kantor. Buktinya
beberapa alat dan bahan laboratorium seperti gelas kimia, mikroskop, erlenmeyer
dan sejawatnya terletak amburadul di atas meja besar dekat serambi belakang
rumah.
Berbicara
kondisi tempat, hanya perlu membayangkan hutan hujan tropis, seperti pak Sudir
sering menamainya sendiri. Beberapa pohon dan perdu besar tumbuh liar sebagai
pembatas halaman. Mangga, sawo kecik, rambutan, ketapang, bambu, jambu,
angsana, trembesi, jati, ki acret, dan pisang menghiasi tanah berukuran hampir
1 hektar tersebut. Semak dan herba menjadi penghuni paling banyak, selain
populasi berbagai jenis hewan kecil maupun besar. Uniknya, setiap tanaman
dibubuhi nama latinnya seperti: Bambusa
spinosa (Bambu), Terminalia catapa
(ketapang) dan lainnya. Menandakan benar sekali bahwa yang empunya adalah ahli
botani. Rumput-rumput tumbuh tinggi dengan sisa dedaunan kering yang berserak.
Bisa dibayangkan hewan apa saja yang hidup di dalamnya.
Asal
tahu saja, tiada anggota keluarganya yang lain yang mampu bertahan lama di
hutan itu selain dirinya dan anak putra sulungnya yang belia, Arfan. Beliau
bahkan dengan senang hati mengajarkan materi-materi biologi kepada Arfan seraya
berharap akan muncul sosok sepertinya lagi di dunia ini pada masa yang akan
datang. Bu Karni, istrinya dan dua anaknya yang lain hanya patuh dan hormat
pada keputusan Pak Sudir. Karena selama ini, distribusi buah dan sayur selalu
berjalan mulus dan ikut membantu menopang ekonomi keluarga.
Pernah
suatu ketika, Arfan bertanya pada ayahnya:
“ Ayah, kenapa
sih kebun kita gak seperti kebun-kebun orang? Disapu halamannya, disiangi daun
yang layu-layu, dibasmi hewan-hewannya. Kan bisa rapi jadinya, biar enak
dilihat orang.”
Pak Sudir
sedikit terkejut dengan pertanyaan putranya namun beliau jadi ingat, mungkin
Arfan sudah termakan hasutan tetangga.
“Bukan seperti
itu namanya kalau kita orang berpendidikan tinggi nak. Seorang dikatakan
profesional jika ia benar-benar mendalami bidang yang ia geluti. Sekarang ayah
tanya, apakah dinamakan ahli mesin jika orang itu bahkan untuk memegang listrik
saja ogah karena takut kesetrum?”
“Tentu tidak,
Ayah..”
“Oleh sebab
itu, ayah sebagai peneliti biologi harus juga konsisten dengan prinsip yang
telah ayah buat. Walaupun orang bilang kita urak-urakan, acuhkan saja, karena
pada hakikatnya kita adalah benar. Tahu tidak, tanaman yang besar maupun kecil
itu, selain buahnya untuk dimakan tapi juga bisa mencegah pemanasan global.
Jadi bumi bisa tetap adem dengan banyaknya tumbuhan itu. Kenapa kita tidak
buang sampah dedaunan, karena itu akan menjadi pupuk bagi tanaman yang tumbuh
setelahnya. Kenapa kita tidak mengusir hewan-hewan itu, karena kita inginkan
hewan tetap hidup agar ekosistem berjalan seimbang.” Akhiri Pak Sudir dengan
suara tinggi khas miliknya. Arfan hanya mengangguk-angguk tanda setuju. Ia
hanya paham selapis saja.
Pak
Sudir seperti mendapat ilham. Ia optimis akan memenangkan proyek besar kali ini.
Ia memasuki halaman depan rumahnya dengan terburu-buru hingga seorang dari
sebelah pagar kembali menghentikan langkahnya.
“Dapat proyek
besar lagi kali ini, Pak? Mudah-mudahan berhasil. Kasihan tanamannya dipaksa
tumbuh besar jika suatu saat akhirnya
harus dipotong juga. “ disusul tawa lagi. Pak Kadir geram. Padahal ia sedang
terburu-buru namun sempat ia ladeni.
“Tentu saja
akan berhasil. Asal kamu tahu ya, tumbuhan akan terhambat pertumbuhan jika
diperlakukan orang secara emosional, misalnya dengan dengki. Yaah.. semacam
efek fisiologis yang dapat dianalisis tentunya. Dan ini akan menjadi proyek
saya. Tunggu saja” sahut Pak Kadir sinis. Ada sindiran dalam kata-kata yang
diucapkannya.
“Apa? Efek
fisiologis, emosional?” terlihat ekspresi dungu di wajah milik sang penanya.
“Memang susah
berhadapan dengan orang bebal seperti kamu!” Pak Kadir berujar ketus dan
meninggalkan si penanya yang kini hanya bengong.
Malamnya,
Pak Sudir terlihat begitu sibuk dengan proyeknya. Sebaliknya, istrinya terlihat
sedikit gelisah dan mendekati suaminya perlahan.
“Pak, bukannya
aku memberontak, tapi setelah dipikir-pikir, omongan tetangga juga sedikit ada
benarnya. Jika kita biarkan kebun kita seperti itu terus, takutnya
penyakit-penyakit mulai berdatangan” ucap Bu Karni, istrinya dengan nada
pasrah. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak mengecap bangku kuliah,
jadi tidak terlalu mengerti mengenai hal itu.
“Kamu ini
bagaimana? Seharusnya kamu dukung aku agar proyek ini berhasil. Kalau ini
sukses, bahagianya juga untuk keluarga kita. Mengenai hal itu, tidak usah kamu
pedulikan. Kita punya berbagai obat racikan herbal yang bisa mencegah penyakit.
Tidak usah takut. Kamu percaya dengan kehebatanku kan?” jelas Pak Sudir terkesan
angkuh sambil tetap fokus dengan pekerjaannya. Di sampingnya, Bu Karni hanya
mengangguk dan mendesahkan kata ‘iya’.
Selama proyek
penelitian tinggal setengah lagi, Pak Sudir tampak mondar-mandir rumah dan
kantor. Hingga suatu hari Bu Karni mencegatnya tiba-tiba saat Pak Sudir mau
berangkat kerja.
“Pak, badan Nita
demam.”
“Apa? Kok bisa
sakit? Kamu tidak ngasih obat herbalnya ya?”
“Tidak, Pak.
Aku rutin suruh minum dia. Tapi kalau tidak salah, kemarin dia main dan petik
sayuran di belakang rumah dengan Arfan. Seharusnya obatnya manjur, tapi..”
“Dia main di
belakang rumah?” tanpa menunggu jawaban dari sang istri, Pak Sudir langsung ke
kamar Nita, untuk mengecek. Tampak Nita tergeletak lemah di atas tempat tidur. Diraba-rabanya
dahi sang putri bungsunya.
“Panas sekali”
lirihnya. Ia mulai menerka-nerka apa penyebabnya. Demam berdarah, malaria, atau
bahkan gejala elephantiasis. Ia mulai ngeri sendiri. Disuruhnya Bu Karni untuk
segera menghubungi dokter.
Pak Sudir
dengan gontai keluar dari kamar putrinya dan beberapa tetangga tampak sudah
berada di ruang tamu rumahnya untuk melihat kondisi Nita. Ia berbicara sebentar
dengan mereka, ada ekspresi sedih di sela-sela suaranya hingga tiba-tiba
seseorang menyeletuk.
“Makanya Pak Sudir,
kalau orang profesional itu, jangan melihat dari satu sisi saja. Mempelajari
obat tanpa mempelajari penyakit. Atau kalau dalam agama yang saya lebih ngerti
dibandingkan bidang yang bapak geluti, umpamanya mempelajari segala tata cara
beribadah hanya dengan logika tanpa memahami dalilnya. Bisa berabe jadinya.”
Pak Sudir
hanya diam. Perkataan orang tersebut jelas sekali bagi beliau. Dan kali ini
beliau benar-benar tertohok. Pikirannya kembali resah tentang Nita, bukan lagi
tentang proyek penelitian besarnya.
Note:
Botani: ilmu yang mempelajari
tentang tumbuh-tumbuhan
Fisiologis: berhubungan dengan
fungsi alat-alat tubuh
Ekosistem: interaksi antara
komponen benda hidup dan tak hidup di alam
Elephantiasis: penyakit kaki gajah
buk biologi, keren kk, dpt ilmu baru :)
BalasHapushahah, mksi ibuk kimia ;)
BalasHapus