Searching...
Sabtu, 11 Mei 2013

Saintis Kalapan



“Wah, rupanya slogan ini berlaku juga ya pak, ‘Rumput tetangga memang lebih hijau’, ujar seseorang menggelegar di sebelah pagar tanaman. Tawanya pecah kemudian dan ucapan sebelumnya menyimpan sindiran halus.
Pak Sudir sekilas menatap wajah si pemilik sumber suara lalu memalingkan wajah tak menggubrisnya. Dasar, bisanya cuma mengolok-olok saja, ocehnya sendirian. Ia sedang menanam benih tomat di kebun di belakang rumahnya. Pekerjaan sambilannya selain meneliti. Jika dilihat dalam posisi seperti ini, beliau sedang bercocok tanam layaknya petani, sungguh langsung terbayang bahwa beliau gigih dan ulet tanpa kenal lelah. Namun tunggu dulu, tempat ini sebenarnya kebun atau hutan?
                Ya, tampaknya memang lebih layak disebut hutan. Pak Sudir sendiri yang mengelolanya dari yang awalnya halaman tandus menjadi hutan subur di belakang rumahnya. Maklum, beliau adalah ilmuwan biologi yang mungkin sangat waras dalam mendalami bidangnya. Tempat itu sudah menjadi laboratorium kedua setelah kantor. Buktinya beberapa alat dan bahan laboratorium seperti gelas kimia, mikroskop, erlenmeyer dan sejawatnya terletak amburadul di atas meja besar dekat serambi belakang rumah.
                Berbicara kondisi tempat, hanya perlu membayangkan hutan hujan tropis, seperti pak Sudir sering menamainya sendiri. Beberapa pohon dan perdu besar tumbuh liar sebagai pembatas halaman. Mangga, sawo kecik, rambutan, ketapang, bambu, jambu, angsana, trembesi, jati, ki acret, dan pisang menghiasi tanah berukuran hampir 1 hektar tersebut. Semak dan herba menjadi penghuni paling banyak, selain populasi berbagai jenis hewan kecil maupun besar. Uniknya, setiap tanaman dibubuhi nama latinnya seperti: Bambusa spinosa (Bambu), Terminalia catapa (ketapang) dan lainnya. Menandakan benar sekali bahwa yang empunya adalah ahli botani. Rumput-rumput tumbuh tinggi dengan sisa dedaunan kering yang berserak. Bisa dibayangkan hewan apa saja yang hidup di dalamnya.
                Asal tahu saja, tiada anggota keluarganya yang lain yang mampu bertahan lama di hutan itu selain dirinya dan anak putra sulungnya yang belia, Arfan. Beliau bahkan dengan senang hati mengajarkan materi-materi biologi kepada Arfan seraya berharap akan muncul sosok sepertinya lagi di dunia ini pada masa yang akan datang. Bu Karni, istrinya dan dua anaknya yang lain hanya patuh dan hormat pada keputusan Pak Sudir. Karena selama ini, distribusi buah dan sayur selalu berjalan mulus dan ikut membantu menopang ekonomi keluarga.
                Pernah suatu ketika, Arfan bertanya pada ayahnya:
“ Ayah, kenapa sih kebun kita gak seperti kebun-kebun orang? Disapu halamannya, disiangi daun yang layu-layu, dibasmi hewan-hewannya. Kan bisa rapi jadinya, biar enak dilihat orang.”
Pak Sudir sedikit terkejut dengan pertanyaan putranya namun beliau jadi ingat, mungkin Arfan sudah termakan hasutan tetangga.
“Bukan seperti itu namanya kalau kita orang berpendidikan tinggi nak. Seorang dikatakan profesional jika ia benar-benar mendalami bidang yang ia geluti. Sekarang ayah tanya, apakah dinamakan ahli mesin jika orang itu bahkan untuk memegang listrik saja ogah karena takut kesetrum?”
“Tentu tidak, Ayah..”
“Oleh sebab itu, ayah sebagai peneliti biologi harus juga konsisten dengan prinsip yang telah ayah buat. Walaupun orang bilang kita urak-urakan, acuhkan saja, karena pada hakikatnya kita adalah benar. Tahu tidak, tanaman yang besar maupun kecil itu, selain buahnya untuk dimakan tapi juga bisa mencegah pemanasan global. Jadi bumi bisa tetap adem dengan banyaknya tumbuhan itu. Kenapa kita tidak buang sampah dedaunan, karena itu akan menjadi pupuk bagi tanaman yang tumbuh setelahnya. Kenapa kita tidak mengusir hewan-hewan itu, karena kita inginkan hewan tetap hidup agar ekosistem berjalan seimbang.” Akhiri Pak Sudir dengan suara tinggi khas miliknya. Arfan hanya mengangguk-angguk tanda setuju. Ia hanya paham selapis saja.
                Pak Sudir seperti mendapat ilham. Ia optimis akan memenangkan proyek besar kali ini. Ia memasuki halaman depan rumahnya dengan terburu-buru hingga seorang dari sebelah pagar kembali menghentikan langkahnya.
“Dapat proyek besar lagi kali ini, Pak? Mudah-mudahan berhasil. Kasihan tanamannya dipaksa tumbuh besar jika suatu  saat akhirnya harus dipotong juga. “ disusul tawa lagi. Pak Kadir geram. Padahal ia sedang terburu-buru namun sempat ia ladeni.
“Tentu saja akan berhasil. Asal kamu tahu ya, tumbuhan akan terhambat pertumbuhan jika diperlakukan orang secara emosional, misalnya dengan dengki. Yaah.. semacam efek fisiologis yang dapat dianalisis tentunya. Dan ini akan menjadi proyek saya. Tunggu saja” sahut Pak Kadir  sinis. Ada sindiran dalam kata-kata yang diucapkannya.
“Apa? Efek fisiologis, emosional?” terlihat ekspresi dungu di wajah milik sang penanya.
“Memang susah berhadapan dengan orang bebal seperti kamu!” Pak Kadir berujar ketus dan meninggalkan si penanya yang kini hanya bengong.
                Malamnya, Pak Sudir terlihat begitu sibuk dengan proyeknya. Sebaliknya, istrinya terlihat sedikit gelisah dan mendekati suaminya perlahan.
“Pak, bukannya aku memberontak, tapi setelah dipikir-pikir, omongan tetangga juga sedikit ada benarnya. Jika kita biarkan kebun kita seperti itu terus, takutnya penyakit-penyakit mulai berdatangan” ucap Bu Karni, istrinya dengan nada pasrah. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak mengecap bangku kuliah, jadi tidak terlalu mengerti mengenai hal itu.
“Kamu ini bagaimana? Seharusnya kamu dukung aku agar proyek ini berhasil. Kalau ini sukses, bahagianya juga untuk keluarga kita. Mengenai hal itu, tidak usah kamu pedulikan. Kita punya berbagai obat racikan herbal yang bisa mencegah penyakit. Tidak usah takut. Kamu percaya dengan kehebatanku kan?” jelas Pak Sudir terkesan angkuh sambil tetap fokus dengan pekerjaannya. Di sampingnya, Bu Karni hanya mengangguk dan mendesahkan kata ‘iya’.
Selama proyek penelitian tinggal setengah lagi, Pak Sudir tampak mondar-mandir rumah dan kantor. Hingga suatu hari Bu Karni mencegatnya tiba-tiba saat Pak Sudir mau berangkat kerja.
“Pak, badan Nita demam.”
“Apa? Kok bisa sakit? Kamu tidak ngasih obat herbalnya ya?”
“Tidak, Pak. Aku rutin suruh minum dia. Tapi kalau tidak salah, kemarin dia main dan petik sayuran di belakang rumah dengan Arfan. Seharusnya obatnya manjur, tapi..”
“Dia main di belakang rumah?” tanpa menunggu jawaban dari sang istri, Pak Sudir langsung ke kamar Nita, untuk mengecek. Tampak Nita tergeletak lemah di atas tempat tidur. Diraba-rabanya dahi sang putri bungsunya.
“Panas sekali” lirihnya. Ia mulai menerka-nerka apa penyebabnya. Demam berdarah, malaria, atau bahkan gejala elephantiasis. Ia mulai ngeri sendiri. Disuruhnya Bu Karni untuk segera menghubungi dokter.
Pak Sudir dengan gontai keluar dari kamar putrinya dan beberapa tetangga tampak sudah berada di ruang tamu rumahnya untuk melihat kondisi Nita. Ia berbicara sebentar dengan mereka, ada ekspresi sedih di sela-sela suaranya hingga tiba-tiba seseorang menyeletuk.
“Makanya Pak Sudir, kalau orang profesional itu, jangan melihat dari satu sisi saja. Mempelajari obat tanpa mempelajari penyakit. Atau kalau dalam agama yang saya lebih ngerti dibandingkan bidang yang bapak geluti, umpamanya mempelajari segala tata cara beribadah hanya dengan logika tanpa memahami dalilnya. Bisa berabe jadinya.”
Pak Sudir hanya diam. Perkataan orang tersebut jelas sekali bagi beliau. Dan kali ini beliau benar-benar tertohok. Pikirannya kembali resah tentang Nita, bukan lagi tentang proyek penelitian besarnya.
Note:
Botani: ilmu yang mempelajari tentang tumbuh-tumbuhan
Fisiologis: berhubungan dengan fungsi alat-alat tubuh
Ekosistem: interaksi antara komponen benda hidup dan tak hidup di alam
Elephantiasis: penyakit kaki gajah

2 komentar:

 
Back to top!