Searching...
Senin, 30 September 2013

Raising Sakura- Part 2

Beban tas yang kupikul berat sekali. Ya ampun, mau lepas rasanya bahu ini. Ditambah lagi koper dan tas jinjing jeans yang terbilang overload. Sesampai di KIX, kami mutar-mutar mencari money exchanger. Uang yen yang kami bawa terlalu besar. Kami butuh koin 10 atau 100 yen untuk dapat menggunakan telepon umum. Mengontak Mr. Hayashi, staf biro di Universitas Fukui bahwa kami sudah sampai di bandara. Walaupun sempat kagok berhadapkan dengan mesin itu, akhirnya beberapa keping koin itu berhasil kami dapatkan. Lalu beranjak ke telepon serta memasukkan koin. Koin keluar. Tidak berhasil. Coba lagi, gagal lagi. Sampai ketiga kalinya kami mencoba, seseorang berkebangsaan Jepang melongok kami dari jauh lalu menghampiri kami.
“Indonesian?” ia menyapa kami.
“O, haik.” Kami menjawab hampir bersamaan.
mesin money exchanger
Mengontak Mr. Hayashi
“O, selamat datang di Jepang” katanya ramah. Rupanya ia mahir berbahasa Indonesia. Ia bercerita ia pernah tinggal di Indonesia selama setahun, tepatnya di Kalimantan. Ia adalah mahasiswa S3 di salah satu Universitas di Osaka. Kali ini ia baru pulang dari Inggris setelah mengadakan penelitian disana. Ia juga lumayan berbahasa Inggris. Salut.
“Kami mencoba menelepon pakai ini tapi tidak bisa. Bisa tolong bantu?” Pocut mencoba minta bantuan darinya. Tanpa berusaha menyambung telepon umum, ia malah menawarkan kontak melalui handphonenya.
“Pakai ini saja ya”ucapnya dalam bahasa Indonesia dengan logat Jepang yang sangat kental. Kami mengangguk senang. Ia pun mengetik nomor kontak Mr.Hayashi. Beberapa kali ditelepon malah sibuk. Dan akhirnya tersambung juga. Setelah mengontak beliau, kami pun melangsungkan prosedur selanjutnya. Kami berterima kasih pada pria itu. Ia pun memperkenalkan diri sambil menyerahkan kartu nama. Kami juga ikut memperkenalkan diri, serta memperjelas bahwa kami berasal dari Aceh. Ia mengangguk-ngangguk, sepertinya ia tahu Aceh.
Terlihat sepertinya pertemuan kami hanya sampai itu. Ternyata tidak. Pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Aki ini, bersedia menemani kami membeli tiket kereta api. Kami merasa sangat terbantu, karena di stasiun itu kebanyakan ditulis dalam bahasa Jepang, juga komunikasi tentunya. Kami harus beli 2 tiket, satu ke Osaka, satu lagi ke Fukui. Sedangkan Aki-san, begitu kami memanggilnya, hanya perlu satu tiket ke Osaka. Jadi kami akan satu perjalanan walau hanya sampai Osaka. Sambil menunggu train jalur Osaka, kami menunggu sambil bercakap-cakap sejenak. Aki-san berbaik hati membelikan kami minuman teh kuning tawar yang dibelinya dari drink machine. Baik sekali dia. Kami semakin salut.
Perjalanan ke Osaka akan menelan waktu sekitar  50 menit. Saat densha (kereta api) berhenti dan pintunya terbuka, seseorang yang terlihat masih awam di samping kami langsung beranjak masuk. Aki-san dengan sigap menghambat orang itu dan menjelaskan sekaligus pada kami, bahwa jika pintu densha terbuka, biarkan orang yang di dalam dulu keluar. Kami mengangguk mengerti. Setelah beberapa orang keluar, kami bertiga pun masuk dan duduk di dua pasang bangku yang saling berhadapan. Seorang petugas kereta api mengecek tiket yang telah kami beli. Ia dengan ramahnya menyapa kami. Setelah itu berdiri di tengah-tengah sambil mengucap salam dan menunduk hormat.
Di tengah perjalanan, kami tidak bercakap terlalu banyak. Dari pertanyaan yang kuajukan pada Aki-san, kudapati bahwa ia tinggal di apartemen di Osaka dan ia adalah mahasiswa jurusan sastra. Kami juga menanyakan kota apa saja yang ia kunjungi selama di Indonesia selain Kalimantan. Ia bilang pernah ke Jakarta, sekitarnya dan Bali. Namun ia belum pernah ke Aceh.
“Wah, di Aceh juga ada tempat yang indah seperti Bali, nama tempatnya Sabang” ucapku.
“oh iya?” ia merespon dengan semangat.
“Iya, bahkan masih sangat natural, karena belum sepadat Bali” jelas Pocut di sampingku. Selebihnya hanya hening. Aku yang duduk di samping jendela asyik menikmati pemandangan di luar. Pocut juga begitu. Ia mengarahkan kameranya keluar, menangkap beberapa sudut kota Osaka yang padat merayap. Gedung tinggi dimana-mana, jarang terlihat pepohonan. Kota Osaka memang terkenal metropolis.
Sampai juga kami di eki (stasiun) Shin-Osaka. Aki-san merasa lapar dan mengajak kami makan bersama. Kami menolak dengan alasan masih kenyang. Ternyata ia tahu kami bingung soal makanan, ia mengerti soal makanan halal. Ia lalu pergi mencari makan sendiri sedangkan kami menunggu di waiting room untuk pemberangkatan ke stasiun selanjutnya. Beberapa orang dengan kostum kantoran terlihat sibuk baca koran. Adapula yang sedang makan bento. Atau beberapa pelajar asing seperti kami. Dan kakek nenek tua yang hanya duduk sambil menerawang kesana kemari.
Aki-san kembali dan bergabung bersama kami. Ia hanya perlu naik taksi untuk sampai di apartemennya. Tapi ia memilih menunggu sebentar bersama kami hingga berangkat. Ia seperti mengerti kekhawatiran kami. Ia meminta beberapa sepasang obasan (bibi) dan ojisan (paman) untuk mengingatkan kami jika sudah sampai di Fukui. Mereka terlihat mau membantu. Densha pun tiba, kami berpisah di bibir pintunya. Ia mengatakan kalau suatu saat mampir lagi ke Osaka, jangan sungkan-sungkan untuk menghubunginya. Ia memberi bungkusan kecil berisi roti yang dibelinya tadi. Sebagai snack di perjalanan. Kami tak perlu khawatir karena dia mengerti makanan halal. Lalu kami mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya dan menyerahkan cinderamata gantungan rencong Aceh satu padanya. Ia senang sekali. Arigatou gozaimasu Aki-san, nice to meet you. You are such a really kind man. Want to meet you soon in another day.J
Sekilas pria ini terlihat biasa saja. tapi siapa sangka ia 'sugoi' dan baik sekali. Aki-san namanya.
Perjalanan ke Fukui-Station sekitar 2 jam. Sepasang paman dan bibi tadi terlihat sibuk mewanti-wanti kami dengan berbicara pada seorang kondektur. Membantu menyampaikan agar kami diturunkan di Fukui-Station. Di akhir, paman itu menyapa kami, dan menyuruh kami mengecek jam agar tidak lewat nantinya. Hmm. Bertemu lagi dengan orang baik, alhamdulillah, batinku. Ia pun kembali ke tempat duduknya di bagian depan.
Selanjutnya, kami kembali menikmati pemandangan luar yang lebih sejuk sekarang. Terlebih saat melewati Tsuruga dan Kyoto, kota tradisional di Jepang. Aaaa, itu tempat favoritku di Jepang. Aku akan kembali lagi suatu saat nanti, tekadku. Pemandangannya itu... membuat lelah ini... hilang sejenak. Andai aku punya kamera, aku akan mengabadikan objek apapun. Makanya dari sekarang aku ingin berhemat agar cepat-cepat punya kamera bagus. Tapi untung juga ada kamera Pocut, jadinya semua tidak terlewatkan begitu saja. Pocut sempat tertidur beberapa saat. Sedangkan aku, walaupun mata merayu sayu tapi tetap kuusahakan membuka dan enggan berpaling dari menatap setiap sudut-sudut. Ternyata Kyoto dekat dengan laut juga. Kawai desu ne!
Kyoto, kota idaman
Saat hampir tiba di tujuan, kami langsung menuju pintu keluar. Menenteng tas-tas dan koper overload kami. Setelah keluar kami menghubungi Mr. Hayashi lagi. Lalu mencari-cari taksi. Oia, sekarang disini sedang musim panas. Tapi udara di Fukui lebih sejuk daripada Osaka. Walaupun cuaca cerah, tapi angin bertiup pelan. Mungkin juga karena mau peralihan ke musim gugur, jadi suhunya menurun. Aaa.. Fukui juga tak kalah cantik. Kota ini setengah Kyoto dan Osaka. Gedung dan penghijauan seimbang, ideal. Love it ^_^
Fukui station
Akhirnya dapat juga taksi yang dikemudikan seorang bapak tua. Beliau juga sangat ramah. Waktu kami bilang dari Indonesia, beliau mengangguk semangat. Ia penasaran apakah Indonesia sepanas ini. Dengan vocab jepang pas-pasan kami menyangkal, udara disini lebih samui (dingin), nyaman sekali. Dan tibalah kami di gerbang Fukui Daigaku. Alhamdulillah...
*rasa takut di awal sedikit demi sedikit sirna, dikarenakan aku bertemu orang-orang baik. Aku semakin optimis untuk menyalakan impianku disini. Semoga Allah mudahkan. Ganbatte ne! ^_^
*Photographs: Pocut Shaliha Finzia

Awesome Fukui Daigaku






14 komentar:

  1. seruuuuu ceritanya..
    kenapa nggak kasih kue Bhoi ke Aki-sa?
    hehehe
    Pocut pake kamera apa? bening kali gambarnya..

    BalasHapus
  2. haha, kalo bawa bhoy, ancur smpe sini bg.
    pake kamera dslr dia bg :)

    BalasHapus
  3. Ayoo kaak.. di rapel terus cerita selanjutnya, banyak yang nungguin tuu.. ehehee.. Sugoii desu ne! ;) :)

    BalasHapus
  4. Seru yaa Isra-san, negeri impian kami sejak kecil.. huhu. Semoga semoga, hihi. ganbatte :>)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe, alhamdulillah kak.. Ayo, nyusul kami kak :D

      Hapus
  5. wah, senangnya.
    Perjalanan yang mengesankan isra :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya bg ibnu.. Lingkungannya nyaman, orangnya juga ramah2. yokatta! :)

      Hapus
  6. Seru ceritanya :)

    btw model rambut aki-san keren 8-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha.. kalo keren, rambutmu buat model gitu aja ya :-s

      Hapus
    2. hahaha.. gaperlu. kalau aslan cuma pake shampoo kok :>)

      Hapus

 
Back to top!