Fukui
daigaku lebih indah dari yang dibayangkan sebelumnya. Gedung-gedungnya luas dan
tinggi. Namun beberapa pohon seperti ginkgo
biloba, maple, pinus, dll tampak
tumbuh rindang di sekeliling gedung. Nyaman sekali rasanya. Belum terlihat
banyak mahasiswa karena hari itu masih summer holiday. Jam menunjukkan pukul 3
sore, kami harus segera ke kaikan karena kalau lewat jam 4, kaikan akan segera
ditutup, dan kami harus menginap di tempat lain. Selisih waktu disini 2 jam
lebih cepat dari Indonesia. Kami pun merasa bingung harus menuju gedung apa,
karena semua nama gedung ditulis dalam bahasa kanji. Tiba-tiba dua orang
mahasiswi Jepang menghampiri dan menyapa dengan ramah.
“Konnichiwa, nihonggo wa
wakarimasu ka?” tanya salah seorang yang berkacamata. Rambutnya terurai melewati bahu.
Aura baik terpancar di wajahnya.
“Aa.. wakarimasen. Sumimasen.
Chotto, little”ucapku berusaha seramah mungkin. Saat bilang ‘chotto’ aku dan
Pocut berseru hampir bersamaan.
“Aa.. Chika desu. Kore wa
Mayu-san desu” ucap yang satunya lagi sambil menuju mahasiswi yang pertama.
“O, haik. Pocut desu”kami mulai
memperkenalkan diri.
“Isra desu” lanjutku.
Dan ternyata mereka kurang bisa
bahasa Inggris, sedangkan kami tidak bisa bahasa Jepang. Jadilah bahasa isyarat
sebagai bahasa alternatif dan digital dictionary punya Mayu-san sebagai alat
bantu penerjemah. Mereka kemudian mengajak kami ke kantor Student Internatinal Affairs
untuk menemui Mr.Hayashi. Berjalan kaki kami menyusuri jalanan kampus yang
lengang. Mereka seakan mengerti kami kelelahan menenteng barang-barang dan
membantu membawakannya.
“Dochira desu ka?*” ucapku
menanyakan sebelah mana kantor yang dituju.
“umm.. reft” kata Mayu-san
menunjuk sebelah kiri. Kata ‘left’ dieja ‘reft’. Dalam bahasa Jepang tidak ada
konsonan ‘L’.
“Um. Oke.oke”.
Sambil berjalan kami bicara
beberapa patah kata. Setiap saat kami bilang tak mengerti apa yang mereka
katakan, mereka berhenti dan berdiskusi sesaat, mungkin mencari kata dalam bahasa
Inggris dan sekali-kali terlihat Mayu-San mengeluarkan digital dictionary dari
tasnya.
Kampus yang rindang |
inside kampus bikin betaah! ^_^ |
Sesampai di kantor itu, kami
sempat menunggu beberapa menit. Aku baru sadar, bahwa di sampingnya ada pohon
maple! My second favorite tree! Aku akan kembali lagi nanti untuk berfoto-foto.
Saat ini bukanlah waktu yang tepat. Tubuh lelah kami harus diistirahatkan dan
disegarkan beberapa saat. Ternyata Mr. Hayashi tidak ada di kantor itu. Kami
pun beralih ke ryuugakusei kaikan (asrama pelajar asing). Tiba disana, terlihat
beberapa mahasiswa asing lainnya di meeting room. Tomima-san, ibu asrama
menyapa kami dengan ramah. Ia memberitahu bahwa kami mendapatkan warisan
barang-barang dari senpai (senior) sebelum kami, Yuliana Rachim. Ternyata,
barang yang ditinggalkan lumayan banyak, jadi kami tak perlu terlalu
menghabiskan uang untuk membeli yang baru. Alhamdulillah, arigatou gozaimasu,
Yuri-senpai ^_^
Tomima-san memberi kunci kamar
dan kami langsung menuju kamar kami di lantai 2. Ah, akhirnya lepas juga bawaan
berat ini. Dan saat aku masuk kamar, aku terperangah sesaat. Ini lebih bagus
dari yang dibayangkan. Ada kulkas dan tempat penyimpanan barang di belakang
pintu. Lalu ada kitchen set, dilengkapi lemari, rice cooker, kompor magnet
listrik, dan westafel. Ada kamar mandi dilengkapi shower, bathtub, jamban, westafel,
dan heater. Bagian agak ke dalam, ada 3 lemari, satu tempat tidur, AC, meja
belajar, dan kabel internet untuk wifi-an. Di luar ada balkon, untuk menjemur
pakaian. Air bisa langsung diminum dari kran. Awalnya sempat was-was, tapi
setelah diminum ternyata tidak kenapa-napa. Ada mesin penghirup bau juga untuk
dapur dan kamar mandi. Waa.. aku sangat bersyukur. Tapi yang masih bikin
bingung dan ribet, sampahnya itu loh.. harus dipisahkan antara plastik, kertas,
sampah basah, kaleng, dsb. Dan ada hari-hari tertentu untuk membuang per
jenisnya. Huff. Let’s go green from now on!
Kaikan yang memadai |
Hanya sempat menaruh
barang-barang, kami langsung kembali ke meeting room. Disana sudah ada
Mr.Hayashi dan teman-teman foreigner lainnya. Kami menyapa mereka walau hanya
dengan kata ‘konnichiwa’. Dan ternyata Chika-san adalah tutorku, sedangkan
Mayu-san adalah tutor Pocut. Dua-duanya sama berhati baik. Chika-san selalu
bersedia menjelaskan dengan hati-hati padaku agar aku paham. Mr.Hayashi lalu
menjelaskan beberapa prosedur untuk pengambilan mata kuliah dan pembuatan KTP.
Ternyata bahasa Inggrisnya lancar. Walaupun ada kata-kata yang harus kami cerna
perlahan juga, karena beberapa kata yang ada huruf ‘L’ di ‘R’kan, seperti class
jadi crass, clock jadi crock dan sebagainya. Ia juga berbicara dalam bahasa
Jepang karena disitu yang tidak mengerti Japanese hanya kami berdua. Beliau
menegaskan bahwa kami akan dibiasakan untuk diperdengarkan dan bercakap bahasa Jepang.
Waa, kebanyakan memang dijelaskan dalam bahasa Jepang. Kami yang dirundung
kelelahan jadi terngantuk-ngantuk. Wakarimasen! L
Akhirnya pertemuan selesai, dan
tinggallah kami bersama Mayu-san dan Chika-san. Saat mengisi form, aku bilang
tak punya pulpen. Chika-san memberikan pulpen sekaligus menghadiahkannya. Waa,
belum apa-apa sudah dapat hadiah,hehe. Setelah itu mereka menemani kami untuk
beli Inkan(stempel nama) di toko terdekat. Tak sadar, kaki Pocut dielus mulut
si inu (anjing). Pocut kaget, kesal juga karena setelah ini dia harus menyamak
celananya. Setelah dari toko itu, kami beranjak ke toko Ichizen Culsa,
supermarket terdekat kaikan. Kami belanja beras, sayur, dan keperluan dapur
lainnya. Atas permintaan kami, Chika-san dan Mayu-san dengan teliti memeriksa
jikalau ada unsur babi dalam bahan makanan tertentu. Jadi kami dengan aman
memilih yang halal. Setelah selesai pada sore menjelang malam itu, mereka mohon
pamit. Kami akan bertemu lagi besok jam 9 di depan main gate Fukui Daigaku
untuk menemui supervisor atau dosen wali kami yaitu profesor Tanaka Yoshifumi.
Malamnya, kami menemui Ketua PPI
(Persatuan Perantau Indonesia) di Jepang yaitu Pak Inyoman Sudiana dan senpai
Into, mahasiswa dari Timor Leste. Ada Annisa, mahasiswi dari UI yang ikut
program yang sama dengan kami. Kemudian kami berlima berjalan menyusuri Fukui
daigaku menuju Restoran Jakarta Food di depan kampus. Pak Nyoman dan Bang Into
yang membawa sepeda ikut juga jalan kaki bersama kami. Sesampai disana rupanya
kami ditraktir PPI. Tapi sebagai gantinya kami harus jadi anggota PPI. Haha. Ada
udang di balik bakwan rupanya. Dan Pak Nyoman itu baik sekali. Ia bercerita
banyak dan menolong kami tak hanya sampai disitu. Senpai Into juga selalu setia
menemani. Malam itu, perut kami sudah sangat lapar. Aku memesan ayam bakar plus
nasi, sedangkan Pocut memesan nasi pecel-lele. Mbak Dewi, pemilik restoran yang
juga anggota PPI melayani kami dengan sangat baik. Suaminya adalah orang Jepang.
Anak laki-lakinya yang mirip Jepang sedang asyik main game di sudut ruangan.
Setelah makan, kami diantar sampai ke kaikan. Alhamdulillah dapat kenalan baru
lagi. Terimakasih PPI atas traktirannya. J
Bersama Ketua PPI, Pak Nyoman. Jilbab merah: Annisa, mahasiswi sastra Jepang UI :) |
Besoknya, kami ingat bahwa ada
janji. Hampir saja telat. Aku dan Pocut berlari-lari hingga sampai gerbang. Aku
mengerti sekali kalau orang Jepang sangat menghargai waktu dan membenci
ketidakdisiplinan. Dari kaikan ke daigaku butuh waktu 10 menit jalan kaki. Di
gerbang, Mayu-san sudah menunggu. Untungnya kami Cuma telat 1 menit. Chika-san
menunggu di ruang laboratorium. Kantor Tanaka-sensei berada di Gedung Education
Faculty, lantai 5. Kami harus naik lift untuk sampai disana. Melewati beberapa
pintu otomatis, yang sesaat membuatku terpana. Tiba di lantai 5, Chika keluar
dari ruangannya dan kami berempat menemui Tanaka-sensei. Beliau ramah sekali.
Bahasa Inggrisnya juga bagus. Ia mengarahkan kami banyak hal, tak hanya seputar
kampus, tapi juga hal-hal di luar kampus, seperti jalan-jalan, shopping, dsb.
Beliau mengatakan bahwa tak perlu segan menghubunginya jika perlu bantuan. Bercakap-cakap
dengannya yang juga menyinggung seputar Indonesia dan Aceh, sampai
menunjuk-nunjuk peta di bagian monitor PC-nya. Beliau terlihat semangat saat
kami menceritakan tentang Aceh, kondisi Aceh yang lebih panas, tragedi tsunami,
dan lain-lain. Sebelum pamit kami menyerahkan omiyage berupa tas jinjing Aceh
kepadanya, membuatnya tersenyum lebar. Ia senang tampaknya.
With Tanaka Sensei and both tutor. They are kind ^_^ |
Sweater merah: Mayu-san, Baju putih: Chika-san |
Setelah itu kami berempat
melewati pohon maple dan berpose di
bawahnya. Kami mengatakan bahwa colokan listrik Indonesia beda dengan punya Jepang,
jadi kami tak bisa men-charge hp dan laptop. Mereka mengerti dan mengantar kami
ke toko elektronik dengan mengendarai mobil Chika-san. Sesampai disana, kami
mencari-cari colokan listrik yang pas, tapi tak juga ditemukan. Sampai harus
bertanya pada ojisan petugas toko, namun nihil. Daripada tak ada satu pun yang
berhasil dibeli, kami pun memutuskan untuk melihat-lihat harga hp. Maklum, hp
dan kartu punya Indonesia tidak bisa dipakai disini. Hp harus dibeli sekalian
dengan nomornya. Dan ternyata harga-harganya di luar jangkauan. Ada juga yang
murah, tapi hanya bisa digunakan di Jepang. Setelah balik ke Indonesia, tidak
bisa dipakai. Kami maunya yang bisa dipakai kemanapun, biar tidak rugi. Harga
pulsa per bulan sekitar 6000 yen atau 600.000 rupiah. Wow.. kalikan saja 12
bulan sudah jadi berapa. Tapi itu sudah untuk semua keperluan, browsing, sms,
telepon, blablabla. Ada handphone dengan harga sangat murah yaitu 1000 yen dan
pulsa 5000 yen per bulan, tapi nanti tidak bisa dibawa pulang ke Indonesia.
Aaa..kecewa! Kami baru ingat semalam Pak Nyoman pernah bilang kalau ada hp yang
harganya 3 jutaan rupiah dengan pulsa 6000 yen per bulan dan bisa berlaku di
Indonesia. Akhirnya kami tidak jadi beli di toko itu. Pesan yang sama Pak
Nyoman saja.
survey kampus bareng tutor |
Kami keluar dari toko itu dan
mampir di toko kelontong. Belanja alat-alat rumah tangga. Chika-san dan
Mayu-san tampak begitu setia. Tak ada tampak lelah di wajah mereka. Hanya
senyum dan keramahan. Aaa. Mereka baik sekali! Di akhir perjumpaan hari itu
kami menghadiahkan mereka gantungan kunci rumah Aceh ke masing-masing mereka.
“Waa.. kawai desu ne*. Arigatou”
ucap mereka.
“Dou itashimashite.” And we were
happy. Thank you for today Mayu-san and Chika-san ^_^
*kuliah akan dimulai sebentar
lagi. Hari-hari berat akan datang. Doakan saya ya! (dengan gaya peserta
Benteng Takeshi) :D
asyiiikkk... Isra percakapan bhasa Jepang di awal cerita diIndonesiakanlah, nggak ngerti penontonnya...
BalasHapuseh, coba fotoin stempel namanya. gmana bentuknya. kyk stempel kita juga??
oke bg.. nti diedit lg.. stempelnya beda, dlm bhs kanji. nya ntar difoto ya.. :)
Hapusbagus sekali ceritanya
BalasHapusmakasih bg ariel :)
Hapusbereh, bereh, awak dayah teungoh ka u jepang , mantap..
BalasHapus(y)
semoga sukses Isra..
hehe.. makasih bg.. amin :)
HapusSubhanAllah sekali kakak..udah gg sabar pengen nyusul..
BalasHapusmdh2n tahun depan liza nyusul kami, amiin :)
Hapusganbatte dek!